MADRASAH: Antara Tradisi Dan Tuntutan Perubahan
artikel
Zaedun Naim - TALIMUNA, Vol. 8, No. 1, Maret 2015-ISSN 2085-2975
Abstrac
The situation of progress of development in various sectors of life, urged the madrasa to improve the quality of education are developed. The programs intelligently based on contemporary needs, demands to be realized, so that the existence of madrassas can be functional in answering daily reality, both in the context of developing science and technology, create jobs or in an attempt to foster a critical attitude, dynamic and be autonomous Madrasah need to be developed to meet three demands minimal in improving the quality of madrasah, namely: (1) how to make the madrassa as a vehicle for fostering the spirit or practice of Islamic life, (2) how to strengthen the presence of the madrassa so equally with the school system, (3) how the madrassa able to respond to future demands science and technology in order to anticipate future developments and globalisasiMadrasah era in the context of preparing learners face of changing global age, it becomes important role. Madrasah success in preparing students to face future challenges more complex will produce graduates with a competitive advantage and became the leader of the nations leaders that will determine the direction of the development of this nation
Kata kunc i: Madrasah, tradisi, tuntutan perubahan
pendahuluan
Madrasah merupakan salah satu lembaga pendikan Islam Indonesia yang biasanya dibangun disamping masjid dan pesantren. Madrasah pernah berkembang pada abad 11 dan 12, atau periode pertengahan sejarah Islam khususnya di wilayah Bagdad seperti madrasah Nizamiyah. Madrasah berkembang di Indonesia merupakan fenomena modern pada awal abad 20. Zaenuddin labai dapat disebut sebagai tokoh pertama yang pada tanggal 10 oktober 1915 mendirikan lembaga pendidikan madrasah di padang panjang, sebelum lembaga serupa berkembang di berbagai daerah. Madrasah di Indoneisa bukan merupakan kelanjutan atau adopsi langsung dari madrasah abad pertengahan1
Sebagai sebuah institusi pendidikan, madrasah merupakan bagian dari proses penentu nasib bangsa di masa depan. Oleh karena pendidikan adalah aset untuk mencapai cita-cita di masa mendatang, maka madrasah pun harus memperoleh posisi yang strategis dalam kehidupan anak bangsa. Madrasah yang dimaksud untuk saat ini adalah lembaga pendidikan yang dikelola oleh departemen Agama2
Berkenaan kemajuan pembangunan di berbagai sektor kehidupan menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas. Sifat selektif masyarakat terhadap lulusan pendidikan makin ketat. Hal ini diikuti dengan perubahan sikap masyarakat yang semakin selektif pula dalam memilih lembaga pendidikan.
Bagi madrasah dalam situasi ini tak memberi pilihan lain dalam meningkatkan kualitas pendidikan yang dikembangkannya. Madrasah dituntut menawarkan program-programnya secara cerdas berdasarkan kebutuhan kekinian, sehingga keberadaan madrasah secara fungsional mampu menjawab realitas keseharian, baik dalam konteks mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan lapangan kerja atau dalam upaya membina sikap hidup yang kritis, dinamis dan mandiri
Agak disesalkan, sistem pendidikan madrasah terbelit aktivitas rutin yang kurang cermat, ditandai dengan praktek pendidikan formal yang kurang menumbuhkan kreativitas dan tanggungjawab, bahkan cenderung menanamkan sifat ketergantungan. Kemandirian, kepekaan dan kepedulian sosial peserta didik kurang digali. Akibatnya proses pendidikan madrasah gagal untuk melahirkan lulusan yang kreatif, bermutu dan berdaya saing. Padahal mereka pun tak semuanya memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.3
Tulisan ini bermaksud mengajak kita, agar mencermati kondisi dan persoalan yang dihadapi madrasah, dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan yang mampu mewujudkan effective school or good school (sekolah yang efektif atau sekolah yang baik), sehingga suatu ketika madrasah akan menjadi pilihan utama.
Sejarah Lahir dan Berkembangnya Madrasah
Sejauh ini tampaknya belum ada data yang pasti kapan istilah madrasah, yang mempunyai pengertian sebagai lembaga pendidikan, mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan atau pengajaran tradisional Islam yang digunakan baik di masjid, surau (Minangkabau), pesantren (Jawa), dan lain-lain, daripada membicarakan madrasah.
Dalam beberapa hal, penyebutan istilah madrasah di Indonesia juga seringkali menimbulkan konotasi "ketidakaslian", dibandingkan dengan sistem pendidikan Islam yang dikembangkan di masjid, dayah (Aceh), surau (Minangkabau), atau pesantren (Jawa), yang dianggap asli Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke-20M, memang merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan para cendikiawan Muslim Indonesia, yang melihat bahwa lembaga pendidikan Islam "asli" (tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Di samping itu, kedekatan sistem belajar-mengajar ala madrasah dengan sistem belajar-mengajar ala sekolah yang ketika madarash mulai bermunculan, memang sudah banyak dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga banyak orang berpandangan bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan corak keIslaman4
Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa masuknya Islam ke bumi Nusantara ini, baik pada gelombang pertama (abad ke-7 M) maupun gelombang ke-2 (abad ke-13)5 tidak diikuti oleh muncul atau berdirinya madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang bermunculan seiring dengan penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, ketika itu ialah pesantren. Dengan alasan itu pula pesantren secara historis seringkali disebut tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).6 Karena itu membicarakan madrasah di Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah munculnya lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seringkali tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai pesantren sebagai cikalbakalnya. Dengan kata lain, madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren. Karena itu menjadi penting untuk mengamati proses historis sebagai mata rantai yang menghubungkan perkembangan pesantren di masa lalu dengan munculnya madrasah di kemudian hari.
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, setidaktidaknya karena beberapa alasan: a) sebagai manifestasi pembaruan sistem pendidikan Islam, b) penyempurnaan sistem pesantren, c) keinginan sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan barat, dan d) sebagai sintesa sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan barat.7
Sedangkan pendapat lain seperti dikemukakan oleh Maksum, bahwa kelahiran madrasah di Indonesia disebabkan dua faktor8 . Dua faktor yang dimaksud adalah pertama, karena pembaharuan Islam, kemunculan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaruan Islam, yang dimotori sejumlah intelektual Islam dan organisasi keagamaan Islam. Agaknya kaum intelektual dan aktivis gerakan Islam memandang, bahwa pendidikan adalah medan yang sangat strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Bahkan pendidikan dapat dijadikan sebagai instrument pengelan ideology keagamaan, seperti yang dianut para aktivis organiasasi keagamaan. Kedua, sebagai respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Madrasah dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai lembaga persekolahan ala belanda yang diberi muatan keagamaan. Sistem pendidikan yang diperkenalkan pemerintah kolonial, adalah sebagai jawaban terhadap kenyataan sistem pendidikan pribumi yang tidak layak untuk diperbaharuhi, karena kebiasaaan-kebiasaan yang cukup jelek, baik dari segi kelembagaan, kurikulum maupun metode pengajarannya.
Menulusuri sejarah pertumbuhan madrasah, banyak dijumpai aspek-aspek historis yang menarik. Seperti apa yang telah disinggung diatas, bahwa Zaman Belanda, pendidikan Islam berada dalam fase awal, yaitu melakukan eksperimen materi dan metodologi pembelajarannya. Sedangkan pada zaman jepang, pendidikan agama Islam ditangani secara khusus. Pemerintah Jepang membuat relasi-positif dengan kiai dan ustadz, yang kemudian membuat kantor urusan agama (shumubu). Setelah tahun 1945-tepatnya tanggal 3 Januari 1946 - kantor tersebut menjadi kementrian agama. Dalam tahun-tahun pertama, kementrian agama membuat divisi khusus yangmenangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren).
Terminologi “ modernisasi madrasah” tampaknya mulai menguat saat orde baru melancarkan manuver-menuver politik pendidikannya. Baik melalui jalan strukturisasi-yaitu penjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan departemen pendidikan nasional termasuk desain kurikulumnya9
Setelah kekuasaan orde baru berjalan satu periode, pada tahun 1975, dikeluarkan SKB tiga menteri yang mencoba meregulasi madrasah secara integral-komprehensif. Inilah era baru madrasah yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, sebagai “sekolah umum plus pendidikan agama” (kurikulum,70%:30%), menjadikan madrasah terbebani dalam mengejar kualitas sekolah pada umumnya. Selama lima pelita berikutnya, kualitas madrasah bisa dipukul rata menghasilkan lulusan yang lemah basic competence agamanya, demikian juga lemah penguasaan ilmu umumnya.
Dengan demikian, sampai reformasi politik meletus tahun 1988, dan terjadi transisi pemerintahan dengan berganti-gantinya kepala Negara, dunia pendidikan bukan tidak terkena dampaknya. Spectrum reformasi politik tersebut memancar ke mana-mana, termasuk wilayah pendidikan keagamaan. Madrasah justru mulai memikirkan posisinya, nilai kehadirannya (bargaining position) dan menyadari hak-haknya, yang selama orde baru nasibnya dimarjinalkan secara tidak adil (diskriminatif). Prestasi penting era reformasi adalah disahkannya UU Sisdiknas no.20 tahun 2003, yang menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah umum termasuk dalam perlakuan anggarannya10
Salah satu ciri penting dari madrasah-madrasah periode pertumbuhan adalah bahwa eksistensinya antara satu sama lain masih terpisah-pisah. Usaha mendirikan madrasah masih bersifat pribadi atau organisasi dalam pengertian sempit. Madrasah-madrasah di padang tidak memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan madrasah-madrasah di jawa. Tidak ada pengaturan yang bersifat umum dan mengikat mengenai bentuk kelembagaan, struktur managemen, dan kurikulumnya. Seperti diisyaratkan oleh Steenbrink, usaha pendirian madrasah itu bertolak dari motif-motif masing-masing, namun semuanya mengarah pada peningkatan peran umat Islam. Dengan demikian uniformitas pada madrasah-madrasah itu hanya dapat dilihat dalam sistem pendidikannya yang berkelas dan isi pendidikannya memberi perhatian pada ilmu-ilmu agama saja.11
Di antaram ulama yang berjasa dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain: syaikh Amrullah Ahmad (1907) di padang, KH. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasullah bersama KH. Mas Mansyur (1914) di Surabaya. Rangkayo Rahmah al-Yunusi (1915) di padang panjang, KH. Hasyim Asyari (1919) mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang.
Organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan banyak mendirikan madrasah dan juga sekolah-sekolah umum dengan nama, jenis dan tingkatan yang bermacam-macam, antara lain:
1. Muhammadiyah (1912) mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah,Muallimin/Muallimat, Muballigin/Muballighat dan Madrasah Diniyah
2. Al-irsyad (19130, mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah,Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassis.
3. Matlul Anwar di Menes banten mendirikan Madrasah Ibtidaiyah,Tsanawiyah, Aliyah dan Diniyah
4. Perhimpunan Umat Islam (PUI) (1977) mendirikan Madrasah Diniyah,Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Pertanian.
5. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) (1928) mendirikan madrasah dengan berbagai nama, diantaranya Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, Kuliyah Syariah
6. Nahdlatul Ulama (1926) mendirikan Madrasah Awaliyah, Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya12
Dengan demikian sejarah lahirnya madrasah bisa diartikan tindak lanjut dari model pendidikan pesantren yang sudah ada sebelumnya dan berkembangnya madrasah tidak lepas dari suatu gerakan pembaharuan pada pendidikan Islam itu sendiri.
Karakteristik Madrasah
Ciri khas madrasah lebih dari hanya sekedar penyajian mata pelajaran agama. Artinya, ciri khas tersebut bukan hanya sekedar menyajikan mata pelajaran agama Islam di dalam lembaga madrasah tetapi yang lebih penting ialah perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas kehidupan madrasah. Suasana lembaga madrasah yang melahirkan ciri khas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (1) Perwujudan nilai-nilai keislaman di dalam keseluruhan kehidupan lembaga madrasah; (2) Kedidupan moral yang beraktuaisasi,
didirikan untuk menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah.20 Pesantren merupakan upaya kalangan pribumi untuk mengembangkan sistem pendidikan sendiri yang sesuai dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".
Namun, meskipun pesantren berperan lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan. Madrasah yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah belanda. Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.21
Telah disinggung bahwa madrasah berbeda pengertiannya antara masa klasik Islam dengan masa ketika lembaga pendidikan tersebut masuk ke Indonesia pada sekitar awal abad ke-20. Madrasah di Indonesia merujuk pada pendidikan dasar sampai menengah, sementara pada masa klasik Islam madrasah merujuk pada lembaga pendidikan tinggi (the institution of higher learning").22 Perbedaan tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan masalah perbedaan definisi, tapi juga menunjukkan perbedaan karakteristik antara keduanya. Merujuk pada penjelasan Nakosteen,23 motif pendirian madrasah pada masa klasik Islam ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum (sekuler), yang dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid merupakan tempat ibadah.
Namun, upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih, tafsir, dan hadits lebih dominan. Sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi marjinal.24 Berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah menjatuhkan pilihan pada (a) madrasah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa disebut madrasah diniyah salafiyah; dan (b) madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam. Tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda; seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di Majalengka.25
Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Konflik (lebih tepat disebut perselisihan pendapat), biasanya terjadi antara satu organisasi keagamaan dengan organisasi keagamaan lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda, dan mereka sama-sama mendirikan madrasah. Misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Tarbiyah Islamiyah, yang memiliki madrasahnya sendiri-sendiri untuk mensosialisasikan dan mengembangkan faham keagamaan masing-masing.
Madrasah di Indonesia secara historis memiliki karakter yang sangat merakyat, berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau kota. Madrasah pertama kali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Naisapur kota yang kemudian dikenalsebagai daerah kelahiran madrasah26 . Daerah Naisapur mencakup sebagian Iran, dan sebagian Afghanistan serta bekas Uni-Sovyet antara laut Kaspia dan laut Aral. Dengan inisiatif yang datang dari penguasa ketika itu, maka praktis madrasah tidak kesulitan menyerap hampir segenap unsur dan fasilitas modern, seperti bangunan yang permanen, kurikulum yang tertata rapi, pergantian jenjang pendidikan, dan tentu saja anggaran atau dana yang dikucurkan oleh pemerintah.
Hal ini berbeda dengan madrasah di Indonesia. Kebanyakan madrasah di Indonesia pada mulanya berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan. Setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana pembangunan dan pendidikannya pun berasal dari swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan.27
Sebagai lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung aspirasi sosialbudaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut pandang lain, hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini patut dicatat bahwa dari 36.000 jumlah madrasah yang ada (yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96 persen di antaranya dikelola oleh masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang dikelola masyarakat, jumlahnya telah mencapai 22.000.28
Kini madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Departemen Agama. Lembaga pendidikan madrasah ini telah berkembang sehingga menjadi bagian dari budaya Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh perubahan yang terjadi di masyarakat. Kurun waktu cukup panjang yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa lembaga pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan karakternya sendiri, yakni sebagai lembaga pendidikan untuk 26 membina jiwa agama dan akhlak anak didik. Karakter itulah yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Sehingga dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 1989, madrasah didefinsikan sebagai "sekolah umum dengan ciri khas Islam” sebuah pengakuan atau sebutan yang cukup simpatik.
Tradisi dan Tuntutan Perubahan Madrasah Pada awal pertumbuhannya, madrasah berperan sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu murni, sebagai perpanjangan dari madrasah diniyah yang telah ada sejak abad pertama sejarah Islam di timur tengah. Sementara di pihak lain, sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum telah ada sebelum adanya madrasah. Dengan demikian, awal pembaharuan Islam di nusantara terdapat dualitas model pendidikan; yakni pendidikan Islam dan pendidikan umum.29 Kondisi ini selanjutnya berkembang menjadi praktik pendidikan dan pengembangan ilmu yang bernuansa dikotomik, sekolah agama yang berkolaborasi dengan keilmuan umum.
Namun iklim dikotomik ini secara perlahan tereduksi dan bahkan hilang sama sekali, terutama ketika ditetapkannya udang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah nomor 28 dan 29 tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan menengah, serta diberlakukannya kurikulum 1994, dimana status madrasah sebagai madrasah diniyah berubah menjadi sekolah berciri khas Islam. Dengan perkataan lain, kedudukan madrasah sudah berbanding lurus dengan sekolah-sekolah umum30
Reposisi madrasah secara konstitusi, agaknya menjadi spirit utama dalam gerakan kolaborasi ilmu pengetahuan dan teknologi, sekaligus memberikan legitimasi teologis perubahan kurikulum madrasah yang integratif, sehingga kemudian muncul istilah madrasah terpadu.
Perkembangan ini membawa implikasi yang cukup mendasar bagi eksistensi madrasah yang semula dipandang sebagai institusi keagamaan namun, kemudian mengalami pengkayaan peran dan fungsi. Oleh karena itu, madrasah kemudian mendapat beban yang cukup berat, yaitu kewajiban untuk memberikan materi-materi dari dua perspketif sekaligus. Dan dari sinilah dilema dan bibit permasalahan mulai muncul31
Menurut Mulkhan dalam bukunya Nalar Spiritual Pendidikan”, sejak perubahan situasi ini madrasah terus menghadapi pilihan yang sulit, yaitu di antara kebutuhan ukhrowi dan kebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran Islam. Sementara di sisi lain, lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup, yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama.32
Selain posisi madrasah yang berada antara dua kutub tersebut, posisi eksternal masih belum banyak menunjang dalam pembinaan madrasah secara optimal. Kondisi tersebut antara lain tidak memadainya dana yang diperlukan, kurangnya tenaga guru dan tenaga kependidikan lainnya yang memenuhi persyaratan, kurangnya tenaga administrasi dan perencanaan pendidikan yang memiliki kemampuan serta kendala-kendala lain.
Dalam kondisi yang demikian para pemegang kebijaksanaan, perencana dan pengelola madrasah dituntut untuk mampu memiliki strategi pengelolaan madrasah yang tepat dan operasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya pada era desentralisasi dan otonomi daerah yang secara formal telah diberlakukan tanggal 1 januari 200133
Munculnya kebijakan tentang desentralisasi pendidikan, sebagai implikasi dari pemberlakuakn undang-undang republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan peraturan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, sebanarnya merupakan angin segar bagi kehidupan madrasah, karena kebijakan tersebut berarti mengembalikan madrasah kepada habitatnya. Pergeseran pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan ini merupakan upaya pemberdayaan madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh. Karena itu, departemen agama perlu membuat kebijakan yang jelas mengenai status madrasah dalam konteks otonomi daerah34 .
Dengan demikian madrasah perlu dikembangkan untuk memenuhi tiga tuntutan dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu: (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup ke-islaman, (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah, (3) bagaimana madrasah mampu merespons tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan ipteks dan era globalisasi.35
Sedangkan arah pengembangan pendidikan di madrasah bertujuan untuk dapat “mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mampu mengaktualisasikan diri dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.”36
Madrasah, dalam konteks mempersiapkan peserta didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi saat ini memiliki peran sangat penting. Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan peserta didik dalam menghadapai tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan lulusan yang yang memiliki keunggulan kompetitif dan menjadi pemimpin umat, pemimpin bangsa.
Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan, madrasah juga harus mempersiapkan peser