Hilangnya Hati Nurani [KH. Hasyim Muzadi]




Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi. Ketinggian kedudukan manusia ini tercermin dalam perbandingannya dengan malaikat. Kedudukan manusia lebih tinggi dari malaikat karena malaikat hanya menunggu perintah, sementara manusia dilengkapi dengan kehendak. Manusia juga lebih tinggi dari setan. Setan tidak bisa berada dalam kebenaran dan selalu pada posisi batil. Sedangkan manusia bisa benar meski sering kali bisa salah dan khilaf.

Jika dengan dua makhluk Allah yaitu malaikat dan setan manusia masih unggul, demikian pula halnya dengan hewan. Keunggulan manusia dari hewan terletak pada akal. Hewan tidak berakal, berbeda dengan manusia.

Keunggulan manusia masih terus berlanjut dengan makhluk-makhuk Allah yang lain. Manusia lebih tinggi dari bumi dan tumbuh-tumbuhan karena ia bernyawa sementara bumi dan tumbuh-tumbuhan tidak benyawa.

Kesempurnaan makhluk bernama manusia ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Qs. At-Tiin: 04).

Sayangnya, tindakan jahil manusia bisa membuat derajat itu jatuh lalu hancur berkeping-keping, sehingga lebih parah dari kekejian binatang atau kejahatan setan sekali pun. Seekor binatang akan berhenti makan usai menyantap makanan yang bisa dimakan. Tapi manusia sering tidak pernah puas dengan apa yang sudah ia terima. Ia terus mencari makan, padahal perutnya sudah terisi sesuai kapasitasnya.

Imam Syafii berkata, Dunia ini sebenarnya rezekinya cukup untuk semua orang sepanjang masa sampai kiamat. Namun, tidak akan cukup untuk orang yang tamak dan rakus. Jarak antara ketinggian dan kejatuhan manusia sungguh luar biasa. Ketika setan membunuh, ia tidak sampai memutilasi sementara manusia tega memotong-motong tubuh korbannya. Pada kondisi ini, manusia lebih jahat dari setan.

Yang menentukan tinggi dan rendahnya manusia adalah hati nurani. Hati nurani menjadi penentu apakah seorang manusia ahsanut taqwiim atau asfala saafiliin. Rasulullah SAW bersabda:

Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik. Apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati. (HR. Bukhari).

Allah SWT. juga befirman:

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl: 78).

Ada tiga anugerah Allah SWT yang bersemayam dalam diri kita. Pertamaas-samu atau pendengaran. Pada awalnya manusia tidak bisa mendengar. Lalu Allah berikan kemampuan mendengar sedikit demi sedikit. As-samu dalam ayat ini juga meliputi beragam pancaindera dan anggota tubuh lainnya seperti lidah, tangan, dan lain-lain.

KeduaAl-Abshar atau penglihatan. Penglihatan diberikan oleh Allah sebagai anugerah untuk melihat kekuasaan dan keindahan yang ada di muka bumi.

Setelah As-Samu dan Al-Abshar, Allah menambah perangkat yang sangat canggih pada diri manusia yang disebut Al-Afidah yang berarti hati nurani. Allah menyebut kata hati dalam bentuk plural atau jamak, karena hati memiliki beberapa fungsi. Dalam hati tersimpan rasa, dan dalam otak terdapat rasio. Rasulullah SAW. memberikan arahan kepada kita yang sedang dilanda kebingungan untuk bertanya pada nurani kita.

Hati manusia mempunyai beragam fungsi. Hati bisa merasa bahagia di waktu pagi dan sedih di sore hari. Hati seseorang dapat memendam perasaan benci namun pada saat yang bersamaan memendam perasaan rindu. Rindu tapi benci atau benci tapi rindu. Itulah hati! Hati kita satu, tapi memendam berbagai perasaan.

Dalam diri manusia bergumul kepentingan nafsu, kehendak, dan hati nurani. Adanya nafsu melahirkan keinginan. Nafsu dan keinginan, keduanya perlu dikendalikan oleh hati nurani agar berjalan sebagaimana mestinya.

Nurani kita perlu selalu kita jaga dari pengaruh-pengaruh negatif. Nurani yang terjaga dengan baik akan memancarkan cahaya yang selalu awas terhadap gangguan-gangguan yang dapat menjadi perintang. Nurani perlu diisi akhlak, ilmu, dan syariat. Apabila hati seorang manusia terisi dengan beragam kemuliaan, ia pantas menjadi pemimpin umat Nabi Muhammad SAW. Ia mengerti apa yang sedang terjadi dan memahami apa yang akan terjadi.

Namun nurani dapat terputus hubungannya dengan Allah SWT. Pada saat seperti itu pantulan sinyalnya akan jatuh. Bukan berarti pemiliknya tidak beriman. Ia tetap beriman, tapi keimanan dalam hatinya terputus dari rahmat Allah sehingga tidak mampu mewujudkan perilaku islami.

Apabila nurani kita sudah tidak memilki tautan dengan Allah, kita akan menjadi abdi dunia. Abdi dunia berarti cinta yang berlebih-lebihan, menjadikan harta dan dunia segala-galanya.

Terputusnya hubungan nurani dengan Tuhan bisa pula disebabkan oleh kemiskinan. Kita sering mendengar ibu yang meninggalkan bayinya begitu saja di sebuah rumah sakit. Si ibu bukannya tidak menaruh sayang kepada bayinya, namun kemiskinan telah membuat nuraninya menjadi tertutup sehingga ia tega melakukan itu.

Selain masalah kemiskinan, nurani seseorang dapat terganggu oleh ulah tangannya sendiri yang mengganggu kehormatan orang lain, menindas yang lemah, menguasai harta dengan cara yang tidak benar, membuka aib, dan sebagainya.

Jika kebiasaan ini terus dipelihara, nurani lambat laun akan mati. Ia tidak lagi bisa membedakan yang benar sebagai kebenaran dan batil sebagai kebatilan. Dia tidak bisa membedakan mana yang halal dan haram. Banyak pemimpin yang seharusnya berkorban untuk masyarakat, justru mengorbankan masyarakatnya agar dirinya, keluarganya, dan kelompoknya serta kepentingannya tidak menjadi korban. Inilah ciri orang yang nuraninya telah mati karena ulah tangannya sendiri.

Bagaimana cara mengembalikan nurani agar kembali bersih dan bercahaya seperti sedia kala? Allah menurunkan Al-Quran sebagai obat dan rahmat bagi umat. Allah berfirman:

Dan Kami turunkan dari Al Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Qs. Al-Isra: 82).

Dengan kembali kepada Al-Quran, hati nurani kita dapat bersih dan mampu menampung energi kebaikan. Cara pertama adalah mendengarkan bacaan Al-Quran bagi yang belum bisa membacanya. Kedua, membacanya ketika ia sudah pandai membaca. Ketiga, memahaminya ketika ia sudah bisa memahaminya. Keempat, menjelaskannya, dan kelima memperjuangkan nilai-nilai Al-Quran secara utuh di tengah-tengah masyarakat.  Inilah obat untuk menghidupkan hati yang mati, yaitu dengan kembali kepada Al-Quran.

Marilah bersama-sama menjaga hati, mata, dan telinga kita agar tidak tunduk pada arahan hawa nafsu. Ketiganya haruslah selalu diasah dan dikelola untuk mengetahui, mengerti, serta memahami ayat-ayat Allah, baik yang kauniyyah (alam dan lingkungan sekitar) mau pun yang qauliyyah (Alquran dan sunah). Tanpa mengupayakan hal itu, niscaya hidup kita akan gelap dan tidak terarah. Di akhirat kelak kita akan menghadap Allah dalam keadaan buta, tuli, dan bisu, meski di dunia dahulu kita sehat dan normal.